Oleh Winarto
Pada menjelang Pemilu 2014 seperti saat ini banyak lembaga survei melakukan penelitian jajak pendapat (polling), khususnya menyangkut elektabilitas sejumlah tokoh sebagai calon presiden. Berita paling akhir melaporkan hasil penelitian Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dirilis akhir Oktober lalu. Hasil survei tersebut sempat dipertanyakan oleh sejumlah pihak, khususnya karena survei tidak memasukkan nama Gubernur DKI Jakarta, Jokowi, sebagai tokoh yang diajukan kepada responden untuk dipilih sebagai calon Presiden. Padahal dalam survei yang dilakukan berbagai lembaga lain sebelumnya Jokowi memiliki elektabilitas tertinggi sebagai Capres 2014.
Alasan LSItidak memasukkan nama Jokowi dalam survei yaitu bahwa Jokowi bukan petinggi partai dan belum tentu diajukan oleh partainya (PDIP) sebagai calon Presiden 2014. Sebagai gantinya, LSImemasukkan nama Megawati sebagai kandidat Presiden dari PDIP. Hasil survei menunjukkan posisi tertinggi diraih Partai Golkar dengan capres Aburizal Bakrie (20,4 persen), disusul PDIP dengan capres Megawati (18,7 persen), Demokrat (9,8 persen), serta partai-partai lainnya.
Menanggapi hal ini, Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan di DPR, Bambang Wuryanto, mempertanyakan motif penyelenggara survei. “Metodologi survei clear, tapi motifnya dipertanyakan (ketika nama Jokowi hilang),” ungkapnya. (kompas.com 25/10).
Ilmiah dan Etik
Di berbagai negara dengan kehidupan politik yang demokratis, penyelenggaraan polling untuk mengetahui opini publik sudah biasa dilakukan. Survei politik memberi kesempatan bagi warga untuk menyampaikan pendapatnya terkait isu yang diajukan oleh lembaga survei. Hal ini sekaligus mengingatkan publik bahwa pendapat mereka adalah penting dan diperhitungkan. Bagi warga hasil survei bisa menjadi referensi dalam menentukan pilihan-pilihan politik. Sedangkan bagi politisi, parpol dan kelompok-kelompok kepentingan, hasil jajak pendapat menjadi sarana untuk mengukur kecenderungan persepsi atau sikap publik, sebagai bahan kajian guna menentukan langkah-langkah strategis ke depan.
Keberadaan lembaga-lembaga survei bermanfaat bagi perkembangan demokrasi sejauh mereka melaksanakan survei berdasar prinsip-prinsip yang bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah dan etik. Pertanggung-jawaban secara ilmiah terkait dengan masalah metodologi. Yakni, sejauh mana penelitian dilakukan dengan metoda yang terukur. Sedangkan pertanggung-jawaban etik terutama menyangkut soal independensi lembaga survei. Bias politik tak terhindari ketika penyelenggara survei sekaligus adalah konsultan politik dari suatu pihak (parpol, kandidat caleg, calon kepala daerah atau capres). Dalam hal demikian, bisa diduga survei yang dilakukan tidak lebih dari strategi politik untuk mendukung pihak pemberi dana di satu sisi dan sebagai upaya menafikan pihak-pihak lain yang dianggap sebagai lawan politiknya.
` Kode Etik Di beberapa negara lembaga-lembaga survei memiliki kode etik yang dikeluarkan oleh organisasi profesi. Di AS misalnya, Asosiasi Penyelenggara Opini Publik Amerika (American Public Opinion Association /AAPOR) memiliki kode etik yang mengatur hubungan-hubungan antara lembaga survei dengan klien, responden dan publik. Khususnya menyangkut hubungan lembaga survei dengan publik disebutkan bahwa anggota AAPOR memiliki kewajiban untuk membuka sejumlah informasi ke publik bila hasil survei dipublikasikan. Beberapa informasi minimal yang harus disampaikan ke publik antara lain siapa yang mendanai dan siapa yang menjalankan survei, bagaimana bunyi pertanyaan yang diajukan kepada responden, instruksi awal yang diberikan lembaga survei kepada para pewawancara dan responden. Juga perlu diungkapkan definisi populasi, prosedur pengambilan sampel dan penggunaan sampling error.
Kode etik yang dikeluarkan AAPOR secara umum mendorong lembaga-lembaga survei melakukan penelitian dengan penuh kehatian-hatian dan menjalankan tahap-tahap yang masuk akal guna memperoleh keyakinan akan validitas dan reliabilitas hasil penelitian. Terkait dengan kepentingan publik, dalam hal hasil penelitian dipublikasikan, kode etik AAPOR mendorong penyelenggara survei bersikap jujur dan terbuka.
Di Indonesia kiranya sudah saatnya dibentuk organisasi persatuan profesi penyelenggara polling dan kode etik yang bisa menjadi pedoman bagi para anggotanya dalam bekerja. Bagi publik, keberadaan organisasi profesi penyelenggara polling dengan kode etiknya akan memberi rasa aman dari kemungkinan lembaga survei sekadar digunakan sebagai alat oleh pihak tertentu yang bisa merugikan kepentingan publik.
Peran Media
Lembaga-lembaga survei sangat berkepentingan pada media untuk menyebar-luaskan hasil-hasil penelitian mereka menyangkut pendapat publik. Publikasi hasil survei, seperti telah disebut di depan, memiliki manfaat bagi banyak pihak, masyarakat pada umumnya dan para pemangku kepentingan. Masalahnya, seringkali pemberitaan tentang hasil survei justru menimbulkan kebingungan audiens, terutama ketika survei beberapa lembaga tentang topik yang sama menunjukkan hasil yang jauh berbeda. Di sinilah media dituntut tanggung jawabnya untuk memberitakan hasil-hasil survei secara jernih, jelas, dengan pertama-tama mengedepankan kepentingkan publik. Diperlukan wawasan yang cukup tentang penyelenggaraan survei dan sikap kritis wartawan ketika meliput acara release hasil penelitian suatu lembaga survei. Dengan demikian wartawan bisa mengevaluasi apakah hasil survei tersebut layak diberitakan dan bermanfaat bagi audiens.
Direktur Pemilihan, NBC News, Sheldon R Gawiser dan CEO Princeton Survey Research Associates International, G Evans Witt, dalam artikel mereka “20 Questions A Journalist Ask About Poll Results” (2006) mengungkapkan, setidak-tidaknya ada 20 pertanyaan penting yang perlu diajukan wartawan ketika meliput acara penyampaian hasil survei. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
Pertanyaan paling awal dan mendasar adalah siapa penyelenggara survei. Informasi ini perlu dilengkapi rekam jejak lembaga survei tersebut sehingga publik bisa menilai kredibilitasnya.
Berikutnya adalah pertanyaan tentang siapa penyandang dananya. Informasi ini diperlukan untuk mengetahui motif penyelenggaraan survei. Mengingat penyelenggaraan survei butuh biaya tidak sedikit maka patut dipertanyakan alasan penyandang dana bersedia melakukan hal itu, keuntungan apa yang diperolehnya. Sheldon dan Witt berpendapat bahwa setiap survei selalu mempunyai maksud-maksud tertentu. Sebuah lembaga pers seperti koran atau majalah misalnya, melakukan survei jajak pendapat untuk mendapatkan berita yang menarik. Sedangkan seorang politisi menyelenggarakan survei mungkin dengan maksud agar terpilih (kembali) pada pemilu mendatang. Bagi jurnalis, isu terpenting di sini adalah apakah motif di balik penyelenggaraan survei diperkirakan cukup mempengaruhi validitas hasil survei. Kalau ya, maka hasil survei tidak layak diberitakan.
Pertanyaan lainnya adalah soal metodologi. Beberapa hal yang penting diketahui publik diantaranya berapa jumlah sample, bagaimana cara pemilihan sample, bagaimana profil atau latar belakang mereka. Jumlah sample dan cara pengambilan sample mempengaruhi tingkat akurasi hasil survei. Semakin banyak jumlah sample akan semakin kecil ‘sampling error’. Tetapi, jumlah yang besar tidak otomatis memberi gambaran yang akurat tentang populasi bila faktor-faktor lain tidak diperhatikan. Yaitu metoda pengambilan sample. Metoda pengambilan sample yang salah bisa menghasilkan gambaran yang salah tentang populasi.
Demikian juga profil responden perlu diperhatikan. Bila sebuah survei dimaksudkan untuk membangun citra partai tertentu maka bisa saja responden dipilih dengan latar belakang politik yang sama dengan partai bersangkutan. Karena itu, perlu ditanyakan dari kelompok mana responden dipilih, bagaimana afiliasi politiknya, mungkin juga latar-belakang etnik dan daerahnya.
Pada hari-hari mendekati pelaksanaan Pemilu 2014 tampaknya akan makin banyak lembaga survei baru yang muncul dengan berbagai kepentingan. Media perlu selektif dan kritis dalam memberitakan hasil-hasil survei yang mereka lakukan. Sebagai salah satu pilar demokrasi media diharapkan bisa memberi pencerahan kepada publik dengan memberikan informasi selengkap mungkin bagi publik, sehingga mereka bisa mengambil keputusan terbaik dalam ikut serta mengembangkan kehidupan politik yang sehat di tanah air.
Tulisan Terkait: